Prof. Yos Menjelaskan Bahwa Pembuktian kerugian negara adalah elemen krusial dalam tindak pidana korupsi. Tanpa bukti ini, dakwaan korupsi kehilangan dasar hukum yang kuat dan mendesak agar Mardani H. Maming dibebaskan.
“Tindak pidana korupsi harus dibuktikan dengan adanya kerugian keuangan negara. Dalam kasus ini, tidak ditemukan audit atau bukti yang menyatakan bahwa negara mengalami kerugian. Tanpa adanya bukti kerugian negara, tidak ada dasar yang kuat untuk menyatakan Maming bersalah,”
Prof. Romli menegaskan bahwa tuntutan dan putusan pemidanaan terhadap Maming tidak didasarkan pada fakta hukum, melainkan lebih pada imajinasi aparat penegak hukum.
“Proses hukum terhadap terdakwa bukan hanya menunjukkan kekhilafan atau kekeliruan nyata, tetapi merupakan sebuah kesesatan hukum yang serius,”
Prof. Dr. Topo Santoso mendesak agar Mardani H. Maming dibebaskan, menyebut putusan hakim keliru karena unsur pidana tidak terbukti. Ia menegaskan bahwa fee dan utang piutang adalah hubungan perdata, bukan tindak pidana, sehingga Maming harus dinyatakan bebas.
“Putusan pengadilan atas Mardani H Maming dengan jelas memperlihatkan kekhilafan atau kekeliruan nyata. Unsur menerima hadiah dari pasal yang didakwakan tidak terpenuhi karena perbuatan hukum dalam proses bisnis seperti fee, dividen, dan utang piutang merupakan hubungan keperdataan yang tidak bisa ditarik dalam ranah pidana,”
Prof. Dr. Todung Mulya Lubis, S.H., LL.M.
Todung Mulya Lubis menyoroti terjadinya peradilan sesat (miscarriage of justice) dalam penanganan kasus korupsi yang menyeret Mardani Maming.
“Bentuk miscarriage of justice yang paling mencolok adalah tidak dipenuhinya hak atas fair trial. Hakim melakukan cherry picking terhadap alat bukti yang dihadirkan selama persidangan. Hakim lebih memilih untuk mempertimbangkan keterangan saksi yang tidak langsung (testimonium de auditu) karena hal itu sesuai dengan dakwaan penuntut umum, ketimbang mempertimbangkan alat bukti lain yang menyatakan hal sebaliknya,”
Bambang Harymurti
Bambang Harymurti mendorong akademisi anti-korupsi untuk tidak tinggal diam dan bersama-sama mengirimkan amicus curiae ke Mahkamah Agung terkait kasus Mardani H. Maming.
“Harusnya para ahli hukum dan eksaminator putusan berani menyusun dan mengirimkan pendapatnya sebagai ahli atau sebagai amicus curiae (sahabat pengadilan) kepada Mahkamah Agung,” lanjutnya. “Jangan lupa peribahasa hukum yang kerap dikutip, yang menyatakan lebih baik membebaskan sepuluh bahkan seratus orang yang bersalah ketimbang menghukum satu orang yang tidak (terbukti) bersalah”.
Pasal 12 huruf b UU PTPK dinilai tidak relevan, dan surat keputusan telah sesuai prosedur undang-undang pertambangan. Mardani H. Maming tidak terbukti melanggar dan layak dibebaskan demi keadilan.
“Tindakan Mardani H. Maming dalam menerbitkan Surat Keputusan Bupati Tanah Bumbu Nomor 296 Tahun 2011 tidak memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang diatur dalam hukum, terutama karena tidak ada dua alat bukti yang cukup di persidangan."
Mardani H Maming tidak melanggar semua pasal yang dituduhkan sehingga harus dibebaskan demi hukum dan keadilan.
“Menurut eksaminasi kami, Mardani H Maming tidak melanggar Pasal 93 UU Minerba, karena norma pasal tersebut berlaku untuk pemegang IUP, bukan bupati yang mengeluarkan SK,”
Tindakan Mardani Maming masih berada dalam koridor kewenangannya sebagai kepala daerah dan tidak melanggar prosedur yang berlaku.
"Putusan ini mengkhawatirkan karena mengaburkan batas antara tindakan yang bersifat administratif dengan tindak pidana korupsi,"
Adanya ketidakjelasan pertimbangan hakim terkait unsur "menerima hadiah," penggunaan bukti tidak sah, dan rendahnya standar pembuktian dalam kasus Maming, serta kecenderungan hakim mengabaikan fakta yang menguntungkan terdakwa.
"Hakim seakan-akan terlalu mengandalkan kesimpulan jaksa penuntut umum tanpa melakukan analisis yang mendalam terhadap seluruh bukti yang ada,"
Tim pengkaji anotasi dari UNDIP menilai keputusan majelis hakim terhadap Mardani terkesan terburu-buru dan tidak didasarkan pada fakta yang akurat.
"Menurut analisis tim anotasi, tidak ada bukti konkret yang menunjukkan kejanggalan dalam transaksi-transaksi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut,"
Putusan hakim hanya didasarkan pada asumsi, bukan bukti nyata.
Uang yang diterima adalah pembayaran bisnis yang sah.
Pemberi suap tidak pernah diperiksa, asumsi “kesepakatan diam-diam” tanpa dasar hukum.
Izin tambang oleh Mardani sesuai aturan dan legal.
Bukti suap terkait tugas jabatan Mardani lemah dan sulit dibuktikan.
Mardani punya izin resmi dari Menteri Dalam Negeri untuk beri izin tambang.
Kasus administratif, tidak cocok dengan UU Tipikor.
Penafsiran Pasal 14 UU Tipikor bertujuan membatasi pasal-pasal korupsi agar tidak digunakan secara luas untuk kasus administratif.
Putusan kasasi abaikan bukti baru, seharusnya Mardani dibebaskan.
Sejumlah Guru Besar, aktivis, dan akademisi anti-korupsi bersatu untuk mendesak pembebasan Mardani H. Maming. Mereka menilai bahwa proses hukum dalam kasus ini tidak adil dan bertentangan dengan prinsip keadilan, di mana banyak bukti relevan diabaikan, menciptakan kesan bahwa hukum lebih dipaksakan daripada didasarkan pada bukti yang kuat. Bersama para pakar hukum, mereka akan mengajukan surat amicus curiae ke Mahkamah Agung untuk meminta peninjauan yang adil terhadap kasus ini. Kasus ini juga mencerminkan lemahnya perlindungan hukum di Indonesia, terutama bagi generasi muda yang rentan terhadap ketidakadilan serupa.
©2024 by #BebaskanMardaniMaming